tirto.id - Mei 2017. Gudang Sarinah Ekosistem malam itu nampak ramai. Gerombolan pengunjung, tua dan muda, larut dalam keramaian. Di luar gedung, sembari menunggu acara puncak dimulai, mereka saling bertukar sapa dan obrolan yang diiringi tawa lepas. Kehangatan begitu jelas terpancar.
Pukul 21.30, acara yang dinanti tiba. Penonton mulai berteriak antusias. Tak lama berselang, sang bintang masuk gelanggang dengan memakai busana ala bangsawan Eropa abad 18 yang dipadukan dengan celana jeans. Ia menyapa kerumunan.
Setelah basa-basi dirasa cukup, ia langsung memacu gitar elektriknya. Jemarinya meliuk lincah di atas dawai. Energinya tetap prima seperti saat usianya masih kepala dua. Selama satu jam penuh, ia melibas semua repertoar yang ada: dari “Humble Sorrow Man,” “Manusia Modern,” sampai “A Fortunate Paradise.”
Sang bintang itu punya nama Benny Soebardja. Ia tampil bersama bandnya, Giant Step, dalam rangka peluncuran album anyar bertajuk Life's Not the Same. Kendati tinggal dirinya yang berstatus sebagai personel asli, upayanya untuk menghidupkan kembali Giant Step terus menggelora.
Malam itu, di Gudang Sarinah, Benny berhasil membuktikannya.
Band Idealis
Membicarakan Giant Step tentu tak bisa dilepaskan dari sosok Benny Soebardja. Tanpa bermaksud untuk menepikan kontribusi personel yang lain, tapi Benny adalah otak dari segala kreasi yang dilahirkan Giant Step. Mungkin levelnya setara dengan Eric Clapton, jika berbicara dalam konteks Cream, atau Jon Anderson apabila menyebut nama Yes.
Giant Step merupakan band progresif rock asal Bandung. Mereka berdiri pada 1973. Anggotanya saat itu ialah Benny, Deddy, Yockie, dan Samy. Namun, band ini mengalami bongkar pasang personel. Nama Giant Step diambil dari judul album Giant Steps garapan John Coltrane, saksofonis dari AS.
Sejak pertama mencuat, Giant Step sudah mencuri atensi. Pasalnya, mereka punya pendirian yang keras. Almarhum Denny Sakrie, kritikus musik, dalam “Benny Soebardja, Kukuh nan Teguh” (2013) mengatakan, di saat band-band seangkatannya bangga menjadi impersonator band rock luar negeri, Giant Step justru berani untuk membawakan karya orisinal di atas panggung.
Bagi Benny, selaku frontman, menciptakan karya sendiri dan kemudian membawakannya di depan umum adalah harga mati. Ia tak ingin Giant Step mengekor band-band saat itu yang masih menjadikan lagu band lain sebagai fondasi utama dalam bermusik. Ihwal ini bisa dilihat kala pada 1976, di Bandung, Giant Step menolak permintaan panitia pementasan untuk menyanyikan ulang lagu-lagu The Beatles. Alih-alih memainkan lagu The Fab Four, Giant Step justru asyik membawakan lagu mereka sendiri.
Musik Giant Step berkiblat pada band-band progresif rock macam King Crimson, Yes, hingga Emerson Lake and Palmer. Sejak album debut, Giant Step berusaha untuk konsisten dalam memainkan pakem progresif rock.
Di album Mark I (1975), misalnya. Aroma King Crimson dan Jethro Tull begitu terasa di track macam “Childhood and the Seabird,” “Far Away,” “Fortunate Paradise,” “Keep A Smile,” hingga “My Life.” Kesepuluh lagu dalam bahasa Inggris yang liriknya ditulis oleh Bob Dook, warga Australia yang tinggal di Bandung, menyatu padu dengan raungan distorsi Benny, gebukan drum yang rancak milik Janto Soedjono, maupun suara kibor Deddy Dorres yang menggelegar.
Album Mark I, sekalipun gagal secara komersil, adalah gambaran bagaimana musik rock Indonesia bisa memberikan kesan yang megah bagi para pendengarnya.
Sentuhan magis itu kembali disajikan Giant Step di album Giant On The Move (1976). Di album ini, percayalah, Anda akan terbuai dan larut dari satu lagu ke lagu yang lain. Giant Step memasukkan banyak unsur yang bikin telinga mengalami orgasme: solo piano bergaya klasik bak musik opera, improvisasi jazz, sampai alunan dawai akustik bernada folk. Semuanya melebur dalam satu spektrum warna.
Giant Step membikin album rock progresif terdengar lebih ramah namun sama sekali tak mengurangi bobot kualitasnya. Giant On The Move merupakan bukti bahwa Giant Step mampu menyeimbangkan kompleksitas komposisi rock progresif dengan nada-nada pop.
Dalam satu kesempatan wawancara dengan Psychedelic Baby Mag (2013), Benny mengaku bahwa kunci untuk menghasilkan album-album yang dahsyat terletak pada kepiawaian mengolah harmoni. Elemen itulah yang lantas menjadi pegangan tiap personel untuk menentukan bagaimana nada-nada dibentuk dan ditafsirkan sedemikian rupa.
Sepanjang perjalanan karier mereka, yang terbentang dari 1973 sampai 1985, sudah ada delapan album yang dihasilkan. Beberapa di antaranya yakni Kukuh Nan Teguh (1977), Persada Tercinta (1978), Tinombala (1979), Volume I (1980), Volume III (1980), dan Geregetan (1985).
Giant Step dikenal tak punya formasi yang awet. Hampir setiap album ditandai dengan keluar-masuknya personel baru. Akan tetapi, publik menganggap formasi bernas Giant Step adalah ketika mereka digawangi oleh Benny, Albert Warnerin (gitar), Adi “Sibolangit” Harjadi (bass), Janto Soedjono (drum), dan Deddy Dorres (kibor).
Tapi, kiprah Giant Step harus berakhir pada akhir 1980an, tepatnya usai album Geregetan rilis di pasaran. Penyebabnya: idealisme mereka untuk tetap mengusung rock progresif mulai tereduksi kebutuhan pasar musik yang sedang menghamba pada pop. Keadaan tersebut membikin Benny kecewa. Ia lalu menolak mengisi vokal untuk single “Geregetan.” Benny beranggapan, lagu tersebut tidak sesuai karakter Giant Step.
Tak cuma menolak menyanyi, saking kecewanya, Benny juga tidak ikut serta dalam pembuatan video clip hingga memutuskan untuk menyetop kesepakatan kontrak bersama label (JK Record). Tak lama, Benny pun mundur dari Giant Step dan dunia musik sekaligus.
“[...] Secara komersil, Geregetan sangat berhasil, tapi secara karakter sangat tidak cocok dengan Giant Step. Tapi, apa pun yang telah terjadi tidak pernah saya sesali. Itu merupakan perjalanan musik kami yang mungkin sudah diatur oleh takdir,” katanya kepada Manunggal Wardaya, pengajar Fakultas Hukum Universitas Soedirman sekaligus pengarsip musik, di Den Haag pada awal 2012.
Benny memang tak perlu menyesal karena sebagaimana makna dari nama bandnya, Giant Step adalah loncatan besar yang pernah dilahirkan kancah rock Indonesia era 1970an.
Editor: Nuran Wibisono